Template Mirip Detik

Subscribe Here!

Enter your email address. It;s free!

Delivered by FeedBurner

Budidaya Cumi-Cumi

By On Juni 24, 2011

Kabar besar hati bagi para nelayan yang biasa menangkap cumi BUDIDAYA CUMI-CUMI

REFERENSI :


Kabar besar hati bagi para nelayan yang biasa menangkap cumi-cumi di laut. Kini, tak perlu lagi mengalami masa paceklik semenjak ditemukannya teknik membudidayakan cumi-cumi.

Indonesia memang sudah populer dengan bakteri lautnya dan merupakan salah satu produsen komoditas perikanan yang memasok produksinya ke banyak sekali mancanegara. Salah satu komoditas perikanan bernilai ekonomi tinggi yang juga merupakan produk ekspor andalan negara kita ialah cumi-cumi. Itu ditandai dengan nilai ekspor binatang bahari yang dikelompokkan ke dalam binatang yang mempunyai kaki di kepala ini (keluarga chephalopoda) selama lima tahun terakhir terus meningkat.

Selama ini Jepang, Amerika dan negara-negara Eropa merupakan negara tujuan utama ekspor biota bahari yang mempunyai nama latin lepiotenhis lessoniana. Di banyak negara cumi-cumi selain dimanfaatkan untuk materi baku banyak sekali jenis makanan, juga dipakai sebagai umpan untuk memancing ikan di laut.

Eskpor cumi-cumi yang pada tahun 2001 mencapai 13 ribu ton lebib (senilai US$ 22 ribu) nilai produksi ekspornya mengatakan peningkatan yang cukup tajam pada tabun 2005. Tahun kemudian jumlahnya berlipat menjadi 25 ribu ton lebih (senilai lebih dari US$ 42 ribu). Peningkatan nilai ekspor ini ternyata masih jauh lebih kecil dari kebutuhan cumi-cumi di pasar dunia.

Di Amerika tahun kemudian saja membutuhkan 640 ribu ton cumi-cumi. Di ketika yang sama Jepang membutuhkan 580 ribu ton, sementara produksi dalam negerinya hanya bisa menghasilkan sekitar 200 ribu ton saja. Sebagai info barga cumi-cumi di negara sakura ini sekarang mencapai US$ 2,5 per kilogram. Dari data ini sanggup disimpulkan bahwa peluang ekspor cumi-cumi masih terbuka lebar dan cukup menjanjikan.

Meski hasil ekspor cumi-cumi memperlibatkan tren yang terus membaik setiap tahunnya, bukan berarti selama ini tidak ada hambatan yang dihadapi oleh para nelayan dalam berburu cumi-cumi. Hampir seluruh hasil ekspor cumi-cumi Indonesia ketika ini masih mengandalkan hasil tangkap dari laut. Artinya pasokan nelayan sangat tergantung dari musim. Seperti contohnya di selat Alas (selat yang menghubungkan antara pulau Lombok dan sumbawa) pada periode Oktober – April merupakan masa panen cumi-cumi, tiap bulannya tangkapan para nelayan rata-rata bisa mencapai lebih dari 100 ton. Sebaliknya selama April – September merupakan ketika paceklik cumi-cumi, pada ketika paceklik para nelayan ini tentu saja pendapatannya akan menurun bahkan bisa saja terjadi sama sekali tidak ada pemasukan dari bakteri tangkap cumi-cumi ini.

Selain itu, keberadaan cumi-cumi ini juga sangat tergantung dari kondisi ekosistem terumbu karang. Terumbu karang bagi cumi-cumi merupakan tempat untuk bertelur dan mencari makanan. Sayangnya kondisi terumbu karang di perairan Indonesia ketika ini sangat memprihatinkan. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari Departemen Kelautan dan Perikanan total luas terumbu karang Indonesia mencapai 60 ribu kilometer persegi, sementara yang kondisinya dianggap masih baik kurang dari 6%. Sisanya yang 94 % tentu saja sangat jelek keadaannya. Melihat fenomena ini maka bisa diprediksikan bahwa dalam beberapa tahun lagi populasi cumi-cumi akan mulai berkurang. Hal ini tentu saja juga akan menimbulkan penurunan produksi ekspor cumi-cumi.

Populasi cumi-cumi semakin hari kian terancam keberadaanya, mengingat sekarang makin meningkat intensitas pencemaran dan kerusakan lingkungan di laut. Hal ini tentu saja akan besar lengan berkuasa terhadap ekosistem bahari terutama cumi-cumi yang tergolong binatang yang amat peka terhadap pencemaran. Sedikit saja terjadi perbedaan kualitas air akanmenghindar dari daerah perairan tersebut.

Melihat bahaya yang serius dari keberadaan cumi-cumi ini, Mulyono S. Baskoro, Peneliti dari Fakultas Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor, melaksanakan penelitian untuk menyebarkan teknik budidaya cumi-cumi. Baskoro pun sekarang mulai menikmati hasil kerja kerasnya selama ini dalam menemukan teknik membudidayakan cumi-cumi.

Dalam memulai penelitian budidaya cumi-cumi ini, Baskoro memang dihadang banyak sekali kendala. Diantaranya disebabkan oleh sikap binatang itu sendiri yaitu belum mau dikawin paksa. Maksudnya binatang ini tetap saja hanya mau bertelur di habitat aslinya. Untuk mengatasi hal ini, Baskoro menemukan sebuah cara yang cukup cerdik, yakni dengan menyediakan tempat khusus untuk induk cumi-cumi bertelur yang disebut atraktor. Atraktor ini dipasang di habitat aslinya. Setelah sang induk bertelur gres telur-telur tersebut dipindahkan ke keramba jaring apung untuk ditetaskan. Lewat cara ini, Baskoro tidak memaksakan induk cumi-cumi untuk bertelur di luar habitatnya.

Atraktor ini sebetulnya merupakan alat homogen rumpon dengan desain ibarat bentuk mirip kelopak bunga. Berdiameter 120 cm dan tinggi 35 cm. Untuk menciptakan alat ini sangatlah mudah. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk menciptakan alat ini pun simpel diperoleh di mana saja. Seperti kawat, tambang dan lembaran plastik hitam yang berfungsi untuk menutup pecahan atas rumpon ini. “Untuk menciptakan satu unitatraktor hanya membutuhkan biaya Rp 300 ribu,” ujar Baskoro.

Pakannya Tak Terlalu Sulit
Alat ini memang dibentuk sedemikian rupa semoga cumi-cumi betah berada di dalam sarang buatan ini. Di dalam atraktor ini ditempatkan serabut-serabut dari tali semoga mirip flora laut, tempat cumi-cumi biasa meletakkan telurnya. Di pecahan atas atraktor ditutup dengan plastik hitam semoga kondisi di dalam rumpon ini gelap tak tersentuh cahaya matahari. Ini sengaja dilakukan alasannya biota bahari yang satu ini memang tergolong binatang yang aktif di ketika malam hari.

Meskipun terlihat sederhana namun untuk penelitian menciptakan sarang bagi induk cumi-cumi ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Baskoro telah melaksanakan penelitian penggunaan atraktor ini semenjak empat tahun yang lalu. Penelitian untuk budidaya cumi-cumi dan inovasi atraktor ini sejatinya memang dilakukan Baskoro untuk menolong para nelayan cumi-cumi. “Ide awal menciptakan alat ini ialah semoga para nelayan tidak kekurangan pasokan cumi-cumi di ketika ekspresi dominan paceklik,” ujarnya.

Untuk mempergunakan alat ini, Baskoro menganjurkan semoga seyogyanya diletakkan di dasar perairan – sekitar 5 – 7 meter dari permukaan bahari – yang memang telah di ketahui menjadi habitat cumi-cumi. Yakni di dasar perairan sekitar terumbu karang dengan kondisi perairan yang jernih dan arus yang tidak terlalu kuat. Biasanya bila melihat tempat yang “nyaman dan asyik” cumi-cumi cukup umur akan segera kawin di dalam sarang buatan ini. Idealnya penempatan atraktor ini dilakukan pada ketika ekspresi dominan panen cumi-cumi.

Setelah satu bulan diletakkan gres terlihat ada telur cumi-cumi yang diletakkan induknya di alat tersebut. Kemudian selanjutnya telur-telur itu dipindahkan ke lokasi jaring apung untuk ditetaskan. Lokasi jaring apung ini sebaiknya jangan terlalu jauh dengan lokasi penempatan atraktor. Hal ini, selain tidak efisien juga akan menambah resiko rusaknya telur ketika dipindahkan. Sekitar dua ahad sesudah dipindahkan gres telur-telur itu akan menetas. Empat bulan kemudian sesudah di pelihara di jaring apung dengan padat penebaran sekitar 50 ekor per meter3 cumi-cumi ini siap dipanen.

Seekor induk cumi-cumi rata-rata bisa menghasilkan sekitar 500 butir telur. Pembudidaya cumi-cumi seyogyanya mempunyai 10 unit atraktor. Artinya ketika masa panen cumi-cumi tiap bulannya bisa mengumpulkan telur cumi sebanyak 5000 buah. “Lewat teknik ini tingkat keberhasilan-nya hingga panen mencapai 85%,” kata Baskoro. Artinya ketika panen dari 5000 telur itu akan menghasilkan 4250 ekor cumi-cumi dengan berat sekitar 425 kg. Di tingkat petani harga cumi-cumi ketika ini mencapai sekitar Rp 22 ribu per kilogramnya. Makara dengan produksi sebanyak itu pembudidaya akan mendapat pendapatan Rp 9,3 juta.

Mengenai pakan, cumi-cumi tergolong simpel dalam tunjangan pakan. Hewan ini tergolong binatang pemakan daging (karnivora) oleh alasannya itu semua biota bahari yang bisa masuk mulutnya akan dimakan. Seperti kerang, ikan dan binatang bahari lainnya. Untuk pemeliharaan juga tidak terlalu sulit. Satu hal yang perlu diperhatikan ialah jangan hingga ada pakan yang tersisa di jaring apung. Ini akan mengundang binatang bahari lainnya (ikan atau kepiting) untuk mengambil sisa pakan tersebut di dalam jaring. Jika ini terjadi ada kemungkinan jaring akan putus, alhasil cumi-cumi bisa kabur ke bahari bebas.

Satu lagi yang harus menjadi perhatian serius bagi pembudidaya cumi-cumi ialah soal pemilihan lokasi jaring apung, lokasinya harus jauh dari acara industri dan keramaian. Sebab sedikit saja terjadi pencemaran di perairan tersebut maka sudah sanggup dipastikan seluruh cumi-cumi peliharaannya akan mati sia-sia. Hal ini tentu saja akan sangat merugikan pembudidaya itu sendiri.

Next
« Prev Post
Previous
Next Post »